Senin, 15 November 2010

Daimyo

Daimyō (大名) berasal dari kata Daimyōshu (大名主, kepala keluarga terhormat) yang berarti orang yang memiliki pengaruh besar di suatu wilayah. Di dalam masyarakat samurai di Jepang, istilah daimyō digunakan untuk samurai yang memiliki hak atas tanah yang luas (tuan tanah) dan memiliki banyak bushi sebagai pengikut.



Pada zaman Muromachi, Shugoshoku adalah nama jabatan yang diberikan kepada kelas penguasa untuk menjaga wilayah feodal yang disebut Kuni (provinsi). Penguasa yang menjabat Shugoshoku kemudian sering disebut sebagai Shugo Daimyō (守護大名, daimyō yang melindungi).

Di zaman Sengoku, dikenal penguasa wilayah feodal yang disebut Taishin (大身). Selain itu dikenal juga samurai lokal yang berperan dalam pembangunan daerah yang disebut Kokujin (国人). Sengoku Daimyō (戦国大名) merupakan sebutan untuk daimyō yang menguasai lebih dari satu wilayah kekuasaan.

Pada zaman Edo, daimyō adalah sebutan untuk samurai yang menerima lebih dari 10.000 koku dari Keshogunan Edo, sedangkan samurai yang menerima kurang dari 10.000 koku disebut Hatamoto.

Daimyo zaman Edo

Daimyo yang berkunjung ke istana, gambar dari buku "Sketches of Japanese Manners and Customs"

Peringkat daimyō pada zaman Edo ditentukan oleh tingkatan kebangsawanan (Kakaku), tingkat jabatan (Kan-i), potensi kekayaan wilayah Han (Kokudaka), dan deskripsi pekerjaan (Yakushoku).

Pada zaman Edo terdapat 3 jenis daimyō:

Kamon Daimyō
Daimyō yang masih punya hubungan kerabat dengan keluarga shogun Tokugawa

Fudai Daimyō
Daimyō turun temurun yang sudah setia kepada shogun Tokugawa jauh sebelum Pertempuran Sekigahara,

Tozama
Pengikut Tokugawa yang menjadi setia setelah ditundukkan dalam Pertempuran Sekigahara.

Tokugawa Ieyasu memberi wewenang atas kekuasaan wilayah han Owari, Kishū, Mito untuk ketiga orang putranya. Ieyasu juga memberi wewenang kepada masing-masing putranya untuk menggunakan nama keluarga Tokugawa, sehingga salah satu garis keturunan putranya dapat menggantikan garis keturunan utama Tokugawa jika mata rantai keturunan utama terputus. Selain itu, masing-masing putra Tokugawa masih menerima tugas penting memata-matai kegiatan para daimyō lain wilayah han tetangga.

Ieyasu menyebar anggota keluarganya ke seluruh Jepang untuk mengawasi daimyō di wilayah han tetangga. Putra ke-9 yang bernama Tokugawa Yoshinao ditunjuk sebagai daimyō wilayah han Owari. Putra ke-10 yang bernama Tokugawa Yorinomu ditunjuk sebagai daimyō wilayah han Kishū, Putra ke-11 yang bernama Tokugawa Yorifusa ditunjuk sebagai daimyō wilayah han Mito. Selain itu, Yūki Hideyasu yang merupakan kakak dari shogun generasi ke-2 Tokugawa Hidetada ditunjuk sebagai daimyō wilayah han Echizen.



Pengikut (Kashin) berasal dari keluarga yang sudah turun temurun mengabdi kepada klan Tokugawa dijadikan Fudai Daimyō. Dalam menjalankan pemerintahan, shogun Tokugawa selalu dikelilingi oleh Fudai Daimyō yang ditunjuk sebagai menteri senior (Tairō) dan penasehat shogun (Rojū)

Jika dibandingkan dengan daimyō lainnya, Fudai Daimyō menerima jumlah Kokudaka yang rendah, sebaliknya klan Torii, klan Sakakibara, dan klan Honda mempunyai kokudaka yang tinggi. Klan Ii yang menjadi Fudai Hitto di Hikone mempunyai kokudaka yang sangat tinggi hingga mencapai 350.000 koku. Cuma ada segelintir daimyō yang menerima di atas 100.000 koku, misalnya: klan Sakai, klan Abe, klan Hotta, klan Yanagisawa, dan klan Toda.

RONIN

Ronin (浪人 rōnin) atau rōshi adalah sebutan untuk samurai yang kehilangan atau terpisah dari tuannya di zaman feodal Jepang (1185-1868). Samurai menjadi kehilangan tuannya akibat hak atas wilayah kekuasaan sang tuan dicabut oleh pemerintah. Samurai yang tidak lagi memiliki tuan tidak bisa lagi disebut sebagai samurai, karena samurai adalah "pelayan" bagi sang tuan.



Dalam budaya populer, ronin didramatisasi sebagai samurai tak bertuan, hidup tak terikat pada tuan atau daimyo dan mengabdikan hidup dengan mengembara mencari jalan samurai yang sejati.

Di zaman Jepang kuno, ronin berarti orang yang terdaftar (memiliki koseki) sebagai penduduk di suatu tempat, tapi hidup mengembara di wilayah lain sehingga dikenal juga dengan sebutan furō (pengembara).

Zaman Kamakura dan zaman Muromachi

Di zaman Muromachi dan zaman Kamakura, samurai yang kehilangan pekerjaan dan tempat tinggal menjadi pengembara. Pada waktu itu, ronin sering menjadi sebab timbulnya kerusuhan skala kecil di berbagai daerah. Walaupun para daimyo banyak membutuhkan prajurit untuk berperang, ronin hampir tidak berkesempatan mendapat majikan yang baru. Situasi keamanan yang buruk menyebabkan ronin membentuk komplotan yang saling berebut wilayah dan pengaruh, beroperasi sebagai gerombolan pencoleng hingga menimbulkan huru-hara.

Zaman Sengoku

Di zaman Sengoku, sengoku daimyo yang tersebar di seluruh Jepang memerlukan prajurit dalam jumlah yang sangat besar, sehingga ronin mempunyai kesempatan besar untuk mendapat majikan baru. Tidak seperti di zaman Edo, hubungan antara samurai dan tuannya di zaman Sengoku tidaklah begitu erat. Di zaman Sengoku, samurai banyak yang memilih jadi ronin atas keputusannya sendiri cuma karena situasi kerja yang tidak memuaskan. Ada juga samurai yang memilih jadi ronin agar bisa menemukan tuan yang menjanjikan kondisi pekerjaan dan gaji yang lebih baik.
Samurai yang berpindah-pindah tuan juga tidak kurang jumlahnya, bahkan ada juga ronin yang sukses menjadi daimyo. Semasa hidupnya, samurai bernama Tōdō Takatora pernah mengabdi untuk 10 orang majikan. Pada waktu itu, orang masih bisa semaunya berpindah-pindah kelas, seperti samurai berganti profesi menjadi pedagang atau petani menjadi samurai.

Zaman Toyotomi dan zaman Osaka

Setelah Toyotomi Hideyoshi berhasil mempersatukan Jepang, berakhir pula zaman perang saudara yang berkepanjangan sehingga samurai banyak yang menjadi ronin. Sebagian besar daimyo tidak lagi perlu memiliki banyak pengikut.
Setelah Pertempuran Sekigahara yang dimenangkan kubu Pasukan Timur, wilayah kekuasaan daimyo Pasukan Barat banyak sekali yang dirampas sehingga para samurai yang kehilangan pekerjaan menjadi ronin. Di zaman Keshogunan Edo, pemerintah Bakufu menghancurkan daimyo yang termasuk golongan tozama daimyo (daimyo yang pernah mendukung klan Toyotomi) sehingga jumlah ronin menjadi semakin banyak.

Pertempuran Osaka

Memasuki zaman Edo, jumlah samurai yang dimiliki para daimyo begitu berlebihan sampai hampir-hampir tidak ada penerimaan samurai baru. Selain itu, hubungan antara majikan dan samurai menjadi semakin teratur karena pengaruh Konfusianisme. Samurai yang desersi meninggalkan tuannya tidak lagi akan diterima sebagai abdi daimyo di tempat lain. Dalam Pertempuran Osaka, klan Toyotomi banyak sekali dibantu para ronin untuk menghadapi pasukan Tokugawa. Jumlah ronin yang membantu klan Toyotomi dalam Pertempuran Osaka dikabarkan mencapai 100.000 orang, walaupun banyak di antaranya yang tewas terbunuh.

Zaman Edo

Di zaman Edo, penghapusan sebagian besar daimyo mengakibatkan jumlah samurai yang menjadi ronin makin bertambah banyak. Di akhir pemerintahan Tokugawa Iemitsu, jumlah ronin melonjak menjadi sekitar 500.000 orang karena peran samurai tidak lagi dibutuhkan di masa damai. Sebagian besar ronin menjadi penduduk kota atau menjadi petani, sebagian ronin bahkan pergi merantau ke luar negeri menjadi prajurit bayaran. Sebagian besar ronin justru hidup menderita dalam kemiskinan di kota-kota dan pemerintah Bakufu menganggapnya sebagai ancaman keamanan. Ronin banyak yang diusir dari kota dan hanya boleh tinggal di wilayah-wilayah yang ditentukan. Pemerintah Bakufu bahkan mengambil tindakan yang lebih kejam dengan melarang ronin mencari tuan yang baru. Kelompok ronin yang terusir ke sana ke mari akhirnya bersatu di bawah pimpinan Yui Shōsetsu dan berkomplot untuk menggulingkan pemerintah Bakufu dalam Pemberontakan Keian.



Pemerintah Bakufu melarang pengangkatan anak sebagai putra pewaris darurat (matsugoyōshi), akibatnya garis keturunan daimyo banyak yang terputus karena daimyo keburu meninggal tanpa memiliki putra pewaris. Keluarga daimyo yang tidak mempunyai putra pewaris terpaksa bubar dan samurai yang kehilangan tuannya berakhir sebagai ronin. Setelah pecahnya Pemberontakan Keian, pemerintah Bakufu berusaha memperbaiki kebijakan terhadap ronin. Pemerintah mengeluarkan berbagai kebijakan baru, seperti melonggarkan larangan mengangkat putra pewaris darurat, mengurangi jumlah daimyo yang dirampas wilayah kekuasaannya, dan meninjau kembali pembatasan wilayah permukiman ronin. Peluang ronin mencari majikan baru juga dibuka kembali. Walaupun sudah ada kebijakan baru, jumlah samurai yang menjadi ronin tidak juga bisa berkurang. Ronin-ronin baru terus bermunculan akibat perampasan wilayah kekuasaan para daimyo yang terus berlanjut.

Situasi kehidupan ronin

Di zaman Edo, ronin yang sudah kehilangan jati diri sebagai samurai masih diakui pemerintah sebagai "samurai" dan masih diizinkan memakai nama keluarga samurai dan membawa katana di pinggang. Sehari-harinya, ronin hidup berdampingan dengan rakyat banyak di bawah pengawasan pemerintah kota (machi bugyō).



Sebagian besar ronin hidup miskin di rumah-rumah sewa, tapi ada juga ronin yang berhasil menjadi sastrawan ternama seperti Chikamatsu Monzaemon. Ronin ada yang membuka dojo, menjadi instruktur bela diri atau menyumbangkan jasa sebagai guru mengajar anak-anak orang biasa di terakoya (sekolah dasar swasta yang menempel di kuil agama Buddha). Miyamoto Musashi adalah seorang ronin yang terkenal sebagai jago pedang tanpa tanding.

Akhir zaman Edo

Di akhir zaman Edo, para ronin mulai berperan aktif di bidang politik. Samurai dari kelas yang disebut gōshi (samurai distrik) banyak yang atas permintaan sendiri meninggalkan domain (han) tempat tinggalnya supaya bisa terjun di bidang politik. Sakamoto Ryōma adalah salah seorang ronin yang berhasil sebagai politikus. Pada waktu itu, ronin palsu juga banyak bermunculan. Penduduk kota dan petani yang tidak dilahirkan dari kalangan samurai banyak yang mengaku sebagai ronin, memamerkan katana di pinggang, dan memakai nama keluarga samurai dengan semaunya. Shinsengumi dianggap sebagai kelompok ronin, tapi anggotanya banyak yang terdiri dari penduduk kota dan petani.
Setelah Restorasi Meiji, identitas ronin ikut dihapus sesuai dengan prinsip shiminbyōdō (penghapusan semua golongan dan kelas dalam masyarakat).

Ronin dalam cerita fiksi

Dalam cerita fiksi, ronin sering digambarkan sebagai yojimbo atau serdadu bayaran. Film Kurosawa Akira yang berjudul The Seven Samurai and Yojimbo adalah salah satu contoh film bertema jidaigeki yang menampilkan ronin.
Ronin tampil dalam permainan video Age of Empires III, anime berjudul Tsukikage Ran, Samurai Champloo, Rurouni Kenshin, dan Final Fantasy X.
Film Hollywood juga tidak ketinggalan mendapat pengaruh dari kisah-kisah ronin, seperti film Clint Eastwood yang berjudul Man with No Name. Film The Magnificent Seven merupakan versi Amerika dari film The Seven Samurai karya Kurosawa Akira.




Metafora ronin

Di zaman sekarang, istilah ronin digunakan di Jepang untuk lulusan sekolah menengah umum yang gagal lulus tes masuk perguruan tinggi atau sekolah lain yang lebih tinggi. Lulusan SMU yang tidak lagi terdaftar di sekolah manapun diumpamakan sebagai ronin yang tidak lagi memiliki majikan tempat mengabdi.

Suzumebachi, Lebah Pembantai dari Jepang Yang Mematikan

Pernahkah anda dikeroyok lebah dengan ukuran ibu jari orang dewasa? Pasti akan menjadi mimpi buruk bagi siapa saja yang mengalaminya. Tahukah anda bahwa ada lebah yang jauh lebih menakutkan dari lebah rumah yang biasa anda temui? Dan yang pasti tidak banyak yang hidup setelah disengat lebah ini.



Lebah ini dikenal dengan sebutan Suzumebachi. Lebah dari Jepang ini adalah salah satu dari serangga predator paling ditakuti. Memiliki panjang 5 cm (2 in) dan dengan lebar sayap sekitar 7,6 cm (3 in), tidak banyak serangga yang mempunyai ukuran seperti ini.

Meskipun ditemukan di seluruh Asia, lebah Jepang, alias lebah raksasa Asia (Vespa mandarinia), populasi terbanyaknya di daerah pegunungan di Jepang. Sengat lebah Jepang ini berukuran sekitar 6 mm (0.25 in) panjang dan mampu menyuntikkan racun yang sangat kuat yang bahkan dapat merusak jaringan atau menghancurkan daging manusia.

Seorang ilmuwan Jepang yang mendapatkan sensasi sengatan menggambarkan sebagai perasaan "seperti paku panas yang ditusukkan ke kakinya."

Jika disengat oleh lebah raksasa, harus segera dilakukan pengobatan, karena orang bisa mati jika terkena sengatan mereka. Meskipun kurang beracun dibanding racun lebah madu, namun lebah raksasa Jepang memiliki jumlah racun per sengatan sangat besar, mungkin yang terbesar diantara lebah-lebah lainnya.

Sekitar 40 orang meninggal di Jepang setiap tahun setelah tersengat, terutama sebagai akibat dari reaksi alergi terhadap racun.
Meskipun hanya dapat terbang pada kecepatan hingga 40 km / h (25 mph) dan jarak perjalanan 97 km (60 mil) dalam satu hari. Bahkan predator yang mengesankan seperti belalang sembah tidak berdaya melawan raksasa Jepang ini.



Lebah raksasa Asia mengunyah mangsanya menjadi sangat lunak yang kemudian dapat memberi makan larvanya. Kemudian larva mereka pada gilirannya menghasilkan cairan bening yang memberi makan lebah dewasa. Seperti rantai makanan.

Dalam berburu sebuah sarang lebah madu, lebah raksasa Asia mempunyai strategi sederhana: Cari jejak dan menyerang dengan bala bantuan. Satu lebah dapat membunuh sekitar 40 lebah madu Eropa per menit - yang berarti sekitar 30.000 lebah harus dilawan dengan 30 lebah raksasa dan memerlukan waktu sekitar tiga jam.
Sekali sarang dikosongkan, maka mereka mulai pesta lebah madu dan membawa pasta makanan ke sarangnya untuk memberi makan larvanya, yang kemudian menghasilkan cairan untuk makanan mereka sendiri.

Samurai

Istilah samurai ( 侍 ), pada awalnya mengacu kepada “seseorang yang mengabdi kepada bangsawan”. Pada zaman Nara, (710 – 784), istilah ini diucapkan saburau dan kemudian menjadi saburai. Selain itu terdapat pula istilah lain yang mengacu kepada samurai yakni bushi. Istilah bushi ( 武士 ) yang berarti “orang yang dipersenjatai/kaum militer”, pertama kali muncul di dalam Shoku Nihongi ( 続日本紀 ), pada bagian catatan itu tertulis “secara umum, rakyat dan pejuang (bushi) adalah harta negara”. Kemudian berikutnya istilah samurai dan bushi menjadi sinonim pada akhir abad ke-12 (zaman Kamakura). Pada zaman Azuchi-Momoyama (1573 – 1600) dan awal zaman Edo (1603), istilah saburai berubah menjadi samurai yang kemudian berubah pengertian menjadi “orang yang mengabdi”.



Sejarah Samurai

Dalam catatan sejarah militer di Jepang, terdapat data-data yang menjelaskan bahwa pada zaman Nara (710 – 784), pasukan militer Jepang mengikuti model yang ada di Cina dengan memberlakukan wajib militer9 dan dibawah komando langsung Kaisar. Dalam peraturan yang diberlakukan tersebut setiap laki-laki dewasa baik dari kalangan petani maupun bangsawan, kecuali budak, diwajibkan untuk mengikuti dinas militer.

Secara materi peraturan ini amat berat, karena para wakil tersebut atau kaum milter harus membekali diri secara materi sehingga banyak yang menyerah dan tidak mematuhi peraturan tersebut. Selain itu pula pada waktu itu kaum petani juga dibebani wajib pajak yang cukup berat sehingga mereka melarikan diri dari kewajiban ini. Pasukan yang kemudian terbentuk dari wajib militer tersebut dikenal dengan sakimori ( 防人 ) yang secara harfiah berarti “pembela”, namun pasukan ini tidak ada hubungannya dengan samurai yang ada pada zaman berikutnya.

Setelah tahun 794, ketika ibu kota dipindahkan dari Nara ke Heian (Kyoto), kaum bangsawan menikmati masa kemakmurannya selama 150 tahun dibawah pemerintahan kaisar. Tetapi, pemerintahan daerah yang dibentuk oleh pemerintah pusat justru menekan para penduduk yang mayoritas adalah petani. Pajak yang sangat berat menimbulkan pemberontakan di daerah-daerah, dan mengharuskan petani kecil untuk bergabung dengan tuan tanah yang memiliki pengaruh agar mendapatkan pemasukan yang lebih besar. Dikarenakan keadaan negara yang tidak aman, penjarahan terhadap tuan tanah pun terjadi baik di daerah dan di ibu kota yang memaksa para pemilik shoen (tanah milik pribadi) mempersenjatai keluarga dan para petaninya. Kondisi ini yang kemudian melahirkan kelas militer yang dikenal dengan samurai.

Kelompok toryo (panglima perang) dibawah pimpinan keluarga Taira dan Minamoto muncul sebagai pemenang di Jepang bagian Barat dan Timur, tetapi mereka saling memperebutkan kekuasaan. Pemerintah pusat, dalam hal ini keluarga Fujiwara, tidak mampu mengatasi polarisasi ini, yang mengakibatkan berakhirnya kekuasaan kaum bangsawan.

Kaisar Gonjo yang dikenal anti-Fujiwara, mengadakan perebutan kekuasaan dan memusatkan kekuasaan politiknya dari dalam o-tera yang dikenal dengan insei seiji. Kaisar Shirakawa,menggantikan kaisar Gonjo akhirnya menjadikan o-tera sebagai markas politiknya. Secara lihai, ia memanfaatkan o-tera sebagai fungsi keagamaan dan fungsi politik.

Tentara pengawal o-tera, souhei ( 僧兵 ) pun ia bentuk, termasuk memberi sumbangan tanah (shoen) pada o-tera. Lengkaplah sudah o-tera memenuhi syarat sebagai “negara” di dalam negara. Akibatnya, kelompok kaisar yang anti pemerintahan o-tera mengadakan perlawanan dengan memanfaatkan kelompok Taira dan Minamoto yang sedang bertikai.



Keterlibatan Taira dan Minamoto dalam pertikaian ini berlatar belakang pada kericuhan yang terjadi di istana menyangkut perebutan tahta, antara Fujiwara dan kaisar yang pro maupun kotra terhadap o-tera. Perang antara Minamoto, yang memihak o-tera melawan Taira, yang memihak istana, muncul dalam dua pertempuran besar yakni Perang Hogen (1156) dan Perang Heiji (1159).

Peperangan akhirnya dimenangkan oleh Taira yang menandai perubahan besar dalam struktur kekuasaan politik. Untuk pertama kalinya, kaum samurai muncul sebagai kekuatan politik di istana.

Taira pun mengangkat dirinya sebagai kuge ( 公家 - bangsawan kerajaan), sekaligus memperkokoh posisi samurai-nya. Sebagian besar keluarganya diberi jabatan penting dan dinobatkan sebagai bangsawan.

Keangkuhan keluarga Taira akhirnya melahirkan konspirasi politik tingkat tinggi antara keluarga Minamoto (yang mendapat dukungan dari kaum bangsawan) dengan kaisar Shirakawa, yang pada akhirnya mengantarkan keluarga Minamoto mendirikan pemerintahan militer pertama di Kamakura (Kamakura Bakufu; 1192 – 1333).

Ketika Minamoto Yoritomo wafat pada tahun 1199, kekuasaan diambil alih oleh keluarga Hojo yang merupakan pengikut Taira. Pada masa kepemimpinan keluarga Hojo (1199 -1336), ajaran Zen masuk dan berkembang di kalangan samurai. Para samurai mengekspresikan Zen sebagai falsafah dan tuntunan hidup mereka.

Pada tahun 1274, bangsa Mongol datang menyerang Jepang. Para samurai yang tidak terbiasa berperang secara berkelompok dengan susah payah dapat mengantisipasi serangan bangsa Mongol tersebut. Untuk mengantisipasi serangan bangsa Mongol yang kedua (tahun 1281), para samurai mendirikan tembok pertahanan di teluk Hakata (pantai pendaratan bangsa mongol) dan mengadopsi taktik serangan malam. Secara menyeluruh, taktik berperang para samurai tidak mampu memberikan kehancuran yang berarti bagi tentara Mongol, yang menggunakan taktik pengepungan besar-besaran, gerak cepat, dan penggunaan senjata baru (dengan menggunakan mesiu). Pada akhirnya, angin topanlah yang menghancurkan armada Mongol, dan mencegah bangsa Mongol untuk menduduki Jepang. Orang Jepang menyebut angin ini kamikaze (angin dewa).




Dua hal yang diperoleh dari penyerbuan bangsa Mongol adalah pentingnya mobilisasi pasukan infantri secara besar-besaran, dan kelemahan dari kavaleri busur panah dalam menghadapi penyerang. Sebagai akibatnya, lambat laun samurai menggantikan busur-panah dengan “pedang” sebagai senjata utama samurai. Pada awal abad ke-14, pedang dan tombak menjadi senjata utama di kalangan panglima perang.

Pada zaman Muromachi (1392 – 1573), diwarnai dengan terpecahnya istana Kyoto menjadi dua, yakni Istana Utara di Kyoto dan Istana Selatan di Nara. Selama 60 tahun terjadi perselisihan sengit antara Istana Utara melawan Istana Selatan (nambokuchō tairitsu).

Pertentangan ini memberikan dampak terhadap semakin kuatnya posisi kaum petani dan tuan tanah daerah (shugo daimyō) dan semakin lemahnya shogun Ashikaga di pemerintahan pusat. Pada masa ini, Ashikaga tidak dapat mengontrol para daimyō daerah. Mereka saling memperkuat posisi dan kekuasaannya di wilayah masing-masing.

Setiap Han13 seolah terikat dalam sebuah negara-negara kecil yang saling mengancam. Kondisi ini melahirkan krisis panjang dalam bentuk perang antar tuan tanah daerah atau sengoku jidai (1568 – 1600). Tetapi krisis panjang ini sesungguhnya merupakan penyaringan atau kristalisasi tokoh pemersatu nasional, yakni tokoh yang mampu menundukkan tuan-tuan tanah daerah, sekaligus menyatukan Jepang sebagai “negara nasional” di bawah satu pemerintahan pusat yang kuat. Tokoh tersebut adalah Jenderal Oda Nobunaga dan Toyotomi Hideyoshi.

Oda Nobunaga, seorang keturunan daimyo dari wilayah Owari dan seorang ahli strategi militer, mulai menghancurkan musuh-musuhnya dengan cara menguasai wilayah Kinai, yaitu Osaka sebagai pusat perniagaan, Kobe sebagai pintu gerbang perdagangan dengan negara luar, Nara yang merupakan “lumbung padi”, dan Kyoto yang merupakan pusat pemerintahan Bakufu Muromachi dan istana kaisar.

Strategi terpenting yang dijalankannya adalah Oda Nobunaga dengan melibatkan agama untuk mencapai ambisinya. Pedagang portugis yang membawa agama Kristen, diberi keleluasaan untuk menyebarkan agama itu di seluruh Jepang. Tujuan strategis Oda dalam hal ini adalah agar ia secara leluasa dapat memperoleh senjata api yang diperjualbelikan dalam kapal-kapal dagang Portugis, sekaligus memonopoli perdagangan dengan pihak asing. Dengan memiliki senjata api (yang paling canggih pada masa itu), Oda akan dapat menundukkan musuh-musuhnya lebih cepat dan mempertahankan wilayah yang telah dikuasainya serta membentuk pemerintahan pusat yang kokoh.

Oda Nobubunaga membangun benteng Azuchi Momoyama pada tahun 1573 setelah berhasil menjatuhkan Bakufu Muromachi. Strategi Oda dengan melindungi agama Kristen mendatangkan sakit hati bagi pemeluk agama Budha. Pada akhirnya, ia dibunuh oleh pengikutnya sendiri, Akechi Mitsuhide, seorang penganut agama Budha yang fanatik, pada tahun 1582 di Honnoji, sebelum ia berhasil menyatukan seluruh Jepang.

Toyotomi Hideyoshi, yang merupakan pengikut setia Oda, melanjutkan penyatuan Jepang, dan tugasnya ini dituntaskan pada tahun 1590 dengan menaklukkan keluarga Hojo di Odawara dan keluarga Shimaru di Kyushu tiga tahun sebelumnya.

Terdapat dua peraturan penting yang dikeluarkan Toyotomi : taiko kenchi (peraturan kepemilikan tanah) dan katana garirei (peraturan perlucutan pedang) bagi para petani. Kedua peraturan ini secara strategis bermaksud “mengontrol” kekayaan para tuan tanah dan mengontrol para petani agar tidak melakukan perlawanan atau pemberontakan bersenjata.

Keberhasilan Toyotomi menaklukkan seluruh tuan tanah mendatangkan masalah tersendiri. Semangat menang perang dengan energi pasukan yang tidak tersalurkan mendatangkan ancaman internal yang menjurus kepada disintegrasi bagi keluarga militer yang tidak puas atas kemenangan Toyotomi. Dalam hal inilah Toyotomi menyalurkan kekuatan dahsyat tersebut untuk menyerang Korea pada tahun 1592 dan 1597. Sayang serangan ini gagal dan Toyotomi wafat pada tahun 1598, menandakan awal kehancuran bakufu Muromachi.

Kecenderungan terdapat perilaku bawahan terhadap atasan yang dikenal dengan istilah gekokujō ini telah muncul tatkala Toyotomi menyerang Korea. Ketika itu, Tokugawa Ieyasu mulai memperkuat posisinya di Jepang bagian timur, khususnya di Edo (Tokyo). Kemelut ini menyulut perang besar antara kelompok-kelompok daimyo yang memihak Toyotomi melawan daimyo yang memihak Tokugawa di medan perang Sekigahara pada tahun 1600. Kemenangan berada di pihak Tokugawa di susul dengan didirikannya bakufu Edo pada tahun 1603.

Samurai di Jaman Edo

Samurai di zaman Edo menjalankan kewajiban melayani tuan tanah feodal masing-masing dengan dua cara. Pertama, menjalankan tugas keprajuritan pada masa damai, yakni menjaga benteng daimyō, mengawal daimyō ketika ia pergi ke Edo dan pulang dari Edo16, dan menyediakan pasukan yang dapat digunakan daimyo untuk menjaga tanahnya.

Namun, setelah Tokugawa berhasil mewujudkan ketertiban di Jepang pada abad ke-17, para samurai ini kebanyakan menjalankan tugas administrasi, dalam hal ini adalah administrasi keuangan seperti menghimpun pendapatan dalam bentuk beras atau uang tunai untuk membayar tunjangan, merawat rumah resmi di Edo, dan membayar biaya perjalanan ke Edo setiap tahunnya.

Karena para samurai tidak dapat lagi diandalkan untuk bertempur, shogun dan daimyō tidak ingin menghilangkan nilai kesetiaan dan keberanian samurai, tetapi perkelahian dan balas dendam turun temurun, sering terjadi dan merupakanbagian dari kehidupan samurai yang tidak sesuai dalam masyarakat aman dan damai yang sedang mereka bangun. Bakufu kemudian menindak tegas pelaku perkelahian dan melarang balas dendam. Untuk mendorong agar para samurai mau menerima perubahan, maka disediakan imbalan. Pada abad ke-18, pejabat mendapat tunjangan tambahan untuk menambah gaji. Pekerjaan yang baik menjadi salah satu pertimbangan untuk naik pangkat, yang membuka kemungkinan untuk naik jabatan.



Selain itu pendidikan moral, etika, dan pengetahuan umum mulai dikenalkan. Sampai saat itu sebagian besar samurai terutama samurai berpangkat tinggi mendapat pendidikan secara individual. Pendidikan tersebut antara lain pengetahuan mengenai etika selain keahlian menggunakan senjata, berikut pengetahuan membaca dan menulis. Peran birokrasi dalam kehidupan telah menjadi norma, para atasan menginginkan nilai-nilai lebih dari seorang samurai. Seperti kaum bangsawan di zaman Nara dan Heian, mereka harus memiliki sikap moral yang “benar” jika mereka ingin mendapat peranan dalam pemerintahan. Terutama harus memahami ajaran-ajaran klasik Konfusius, oleh karena itu bakufu dan para daimyō mulai mendirikan tempat-tempat pendidikan dimana hal-hal tersebut dapat dipelajari. Terdapat lima belas tempat-tempat pendidikan yang didirikan pada tahun 1700.

Ikebana

Ikébana (生花) adalah seni merangkai bunga yang memanfaatkan berbagai jenis bunga, rumput-rumputan dan tanaman dengan tujuan untuk dinikmati keindahannya. Ikebana berasal dari Jepang tapi telah meluas ke seluruh dunia. Dalam bahasa Jepang, Ikebana juga dikenal dengan istilah kadō (華道, ka, bunga; do, jalan kehidupan) yang lebih menekankan pada aspek seni untuk mencapai kesempurnaan dalam merangkai bunga.



Di dalam Ikebana terdapat berbagai macam aliran yang masing-masing mempunyai cara tersendiri dalam merangkai berbagai jenis bunga. Aliran tertentu mengharuskan orang melihat rangkaian bunga tepat dari bagian depan, sedangkan aliran lain mengharuskan orang melihat rangkaian bunga yang berbentuk tiga dimensi sebagai benda dua dimensi saja.
Pada umumnya, bunga yang dirangkai dengan teknik merangkai dari Barat (flower arrangement) terlihat sama indahnya dari berbagai sudut pandang secara tiga dimensi dan tidak perlu harus dilihat dari bagian depan.
Berbeda dengan seni merangkai bunga dari Barat yang bersifat dekoratif, Ikebana berusaha menciptakan harmoni dalam bentuk linier, ritme dan warna. Ikebana tidak mementingkan keindahan bunga tapi pada aspek pengaturannya menurut garis linier. Bentuk-bentuk dalam Ikebana didasarkan tiga titik yang mewakili langit, bumi, dan manusia.


Asal-usul


Asal-usul Ikebana (いけばな) adalah dari tradisi mempersembahkan bunga di kuil Buddha di Jepang. Ikebana berkembang bersamaan dengan perkembangan agama Buddha di Jepang di abad ke-6.



Ada penelitian yang mengatakan Ikebana berasal dari tradisi animisme orang zaman kuno yang menyusun kembali tanaman yang sudah dipetik dari alam sesuai dengan keinginannya. Di zaman kuno, manusia merasakan keanehan yang terdapat pada tanaman dan mengganggapnya sebagai suatu misteri. Berbeda dengan binatang yang langsung mati setelah diburu, bunga atau bagian tanaman yang sudah dipetik dari alam bila diperlakukan dengan benar tetap mempertahankan kesegaran sama seperti sewaktu masih berada di alam. Manusia yang senang melihat "keanehan" yang terjadi kemudian memasukkan bunga atau bagian tanaman yang sudah dipotong ke dalam vas bunga. Manusia zaman kuno lalu merasa puas karena menganggap dirinya sudah berhasil mengendalikan peristiwa alam yang sebelumnya tidak bisa dikendalikan oleh manusia.
Ketakjuban manusia terhadap tumbuhan yang dianggap mempunyai kekuatan aneh juga berkaitan dengan pemujaan tanaman yang selalu berdaun hijau sepanjang tahun (evergreen).

Manusia zaman dulu yang tinggal di negeri empat musim percaya bahwa kekuatan misterius para dewa menyebabkan tanaman selalu berdaun hijau sepanjang tahun dan tidak merontokkan daunnya di musim dingin.

Sejarah Seni Merangkai Bunga


Menurut literatur klasik seperti Makura no sōshi yang bercerita tentang adat istiadat Jepang, tradisi mengagumi bunga dengan cara memotong tangkai dari sekuntum bunga sudah dimulai sejak zaman Heian. Pada mulanya, bunga diletakkan di dalam wadah yang sudah ada sebelumnya dan kemudian baru dibuatkan wadah khusus untuk vas bunga.
Ikebana dalam bentuk seperti sekarang ini baru dimulai para biksu di kuil Chōhōji Kyoto pada pertengahan zaman Muromachi. Para biksu kuil Chōhōji secara turun temurun tinggal di kamar (bō) di pinggir kolam (ike), sehingga aliran baru Ikebana yang dimulainya disebut aliran Ikenobō.

Di pertengahan zaman Edo, berbagai kepala aliran (Iemoto) dan guru besar kepala (Sōke) menciptakan seni merangkai bunga gaya Tachibana atau Rikka yang menjadi mapan pada masa itu.

Di pertengahan zaman Edo hingga akhir zaman Edo, Ikebana yang dulunya hanya bisa dinikmati kalangan bangsawan atau kaum samurai secara berangsur-angsur mulai disenangi rakyat kecil. Pada zaman itu, Ikebana gaya Shōka (seika) menjadi populer di kalangan rakyat.

Aliran Mishōryū, aliran Koryū, aliran Enshūryū dan aliran Senkeiryū melahirkan banyak guru besar dan ahli Ikebana yang memiliki teknik tingkat tinggi yang kemudian memisahkan diri membentuk banyak aliran yang lain.

Ikebana mulai diperkenalkan ke Eropa pada akhir zaman Edo hingga masa awal era Meiji ketika minat orang Eropa terhadap kebudayaan Jepang sedang mencapai puncaknya. Ikebana dianggap mempengaruhi seni merangkai bunga Eropa yang mencontoh Ikebana dalam line arrangement.

Sejak zaman Edo lahir banyak sekali aliran yang merupakan pecahan dari aliran Ikenobō. Pada bulan Maret 2005 tercatat 392 aliran Ikebana yang masuk ke dalam daftar Asosiasi Seni Ikebana Jepang.


Gaya Rangkaian dalam Ikebana


Ada 3 gaya dalam Ikebana, yaitu : rikka, shoka, dan jiyuka.
Rikka (Standing Flower) adalah ikebana gaya tradisional yang banyak dipergunakan untuk perayaan keagamaan. Gaya ini menampilkan keindahan landscape tanaman. Gaya ini berkembang sekitar awal abad 16. Ada 7 keutamaan dalam rangkaian gaya Rikka, yaitu : shin, shin-kakushi, soe, soe-uke, mikoshi, nagashi dan maeoki



Shoka adalah rangkaian ikebana yang tidak terlalu formal tapi masih tradisional. Gaya ini difokuskan pada bentuk asli tumbuhan. Ada 3 unsur utama dalam gaya Shoka yaitu : shin, soe, dan tai. Sesuai dengan perkembangan zaman, sesudah Restorasi Meiji 1868, gaya ini lebih berkembang karena adanya pengaruh Eropa Nageire arti bebasnya “dimasukan” (rangkaian dengan vas tinggi dengan rangkaian hampir bebas)dan Moribana. rangkaian menggunakan wadah rendah dan mulut lebar). Lalu pada tahun 1977 lahir gaya baru yaitu Shoka Shimputai, yang lebih modern, terdiri dari 2 unsur utama yaitu shu dan yo, dan unsur pelengkapnya, ashirai.

Jiyuka adalah rangkaian Ikebana bersifat bebas dimana rangkaiannya berdasarkan kreativitas serta imaginasi. Gaya ini berkembang setelah perang dunia ke-2. Dalam rangkaian ini kita dapat mempergunakan kawat,logam dan batu secara menonjol.

Perlengkapan


Hampir sama dengan peralatan merangkai bunga gaya eropa, dalam Ikebana kita memerlukan kawat dari berbagai ukuran (ketebalan kawat), gunting (gunting khusus ikebana), Floral tape (warna hijau dan coklat),selotip. Juga tang bunga (utk mematahkan), kenzan yaitu alas berduri tajam tempat mencucukan bunga, juga semacam pipet besar untuk mengambil air yang lama di vas ketika kita hendak mengganti airnya, batu-batuan kecil juga bisa dipergunakan bila kita mempergunakan vas/wadah/suiban tinggi.

Aliran yang terkemuka

• Ikenobō
• Senkeiryū
• Sōgetsu
• Ohararyū
• Ryūseiha
• Mishōryū
• Mishōryū Sasaoka
• Saga Goryū
• Yamamura Goryū
• Yōshin Goryū
• Kadōenshū
• Nihonkoryū

Katana

Katana (刀) adalah pedang panjang Jepang (daitō, 大刀), walaupun di Jepang sendiri ini merujuk pada semua jenis pedang. Katana adalah kunyomi (sebutan Jepang) dari bentuk kanji 刀; sedangkan onyomi (sebutan Hanzi) karakter kanji tersebut adalah tō. Ia merujuk kepada pedang satu mata, melengkung yang khusus yang secara tradisi digunakan oleh samurai Jepang.



Katana biasanya dipasangkan dengan wakizashi atau shōtō, bentuknya mirip tapi dibuat lebih pendek, keduanya dipakai aleh anggota kelas ksatria. Kedua senjata dipakai bersama-sama disebut daishō, dan mewakili kekuatan sosial dan kehormatan pribadi samurai. Pedang panjang dipakai untuk pertempuran terbuka, sementara yang lebih pendek dipakai sebagai senjata sampingan (side arm), lebih cocok untuk menikam, pertempuran jarak dekat, dan seppuku (suatu bentuk ritual bunuh diri).

Katana terutama digunakan untuk memotong,dan diutamakan dipakai dengan dua pegangan tangan. Berbeda dengan kebanyakan pedang dari negara manapun, Katana memiliki cara peletakan yang berbeda pada pinggul pemakainya, tidak seperti pedang lain yang menyandang pedang dengan mata pedang mengarah ke bawah, katana justru sebaliknya, mata pedangnya mengarah ke atas, ini dimaksud untuk mempermudah seorang samurai dalam melakukan aktivitasnya, termasuk sumpah darah, cukup dengan menarik sedikit saja gagang pedang dan menggoreskan ibu jari pada mata pedang. Sementara seni praktis penggunaan pedang untuk tujuannya semula telah usang, kenjutsu dan laijutsu beralih menjadi seni beladiri modern.




Pedang Jepang yang asli sekarang ini adalah barang yang langka, walaupun yang benar-benar antik dapat diperoleh dengan harga yang sangat mahal. Katana dan wakizashi modern hanya dibuat oleh sedikit praktisi berlisensi yang masih membuat kerajinan senjata ini sekarang, meskipun katana "Type 98" juga langka.

OKIKU DOLL

Misteri Boneka Okiku Dari Jepang, Boneka Setan!!!



Pernah mendengar tentang Boneka Okiku ?
Boneka ini sampai sekarang masih menjadi misteri.
Rambutnya terus memanjang walaupun sudah di potong berkali kali.
Dan ditambah menurut penuturan orang yang pernah melihat boneka ini, boneka ini memang seram dengan segala nuansa non logisnya.
Secara logika, tidak ada yang bisa menjawab.
Bagaimana bisa benda mati bisa menumbuhkan rambutnya terus menerus? Kalo di Indonesia, bisa di bilang mirip jenglot lah.
Bahkan, saking diluar pemikiran logika manusia.
Sampai-sampai seorang peneliti Jepang melakukan tes forensik dan hasil hasilnya, rambut yang ditumbuhkan boneka ini sama persis dengan rambut pada anak usia 10 tahun. Wogh….!!!!

Asal mula



Awalnya boneka ini dibeli tahun 1918 oleh seorang pemuda bernama Eikichi Suzuki di Sapporo. Boneka ini dibeli Eikichi untuk adiknya yang berumur 2 tahun yang bernama Okiku, anak ini sangat menyenangi boneka ini dan memainkannya setiap hari.
Hampir seperti soulmate deh… (Nama Boneka Okiku diambil dari nama anak ini).
Boneka dengan ukuran tinggi 40 sentimeter, berpakaian kimono dengan mata hitam dan rambut yang lebat menjadi teman bermainnya setiap saat, sampai pada suatu hari Okiku meninggal karena demam.

Kemudian pada saat pemakamannya, Keluarga ingin memasukkan boneka ke dalam peti mati-nya tapi entah mengapa mereka lupa. Keluarga gadis tersebut kemudian menaruh boneka itu di altar rumah dan berdoa untuk setiap hari dalam rangka memperingati Okiku.
Beberapa waktu kemudian, mereka melihat rambut mulai tumbuh. Menurut cerita dan kisah, itu karena roh dari gadis itu yang tinggal di dalam boneka itu.
Tahun 1938 keluarga Suzuki pindah ke Shakalin (Kota kecil di Jepang), Boneka Okiku akhirnya dititipkan di kuil Mannenji di Hokkaido.

Menurut pendeta di kuil itu, membenarkan kalau rambut boneka okiku terus memanjang, walaupun dipotong terus secara berkala, tapi rambutnya tumbuh terus.
Tiap tahun di setiap tanggal 21 di bulan bulan tertentu, di kuil Mannenji diadakan ritual pemotongan rambut sang boneka.

Kabarnya, pengunjung yang berziarah ke kuil tersebut untuk melihat Boneka Okiku sering ngeliat mata sang boneka berkedip kepada mereka. Hiii Serem…
Keanehan lain yang dimiliki boneka ini adalah sejak Perang dunia ke2, mulut boneka ini dikabarkan membuka sedikit demi sedikit. ihh serem.. gimana ya kalo tiba tiba bisa bilang “mama” alias bias bicara… Kaburrrr………
Mau percaya atau tidak, temen temen bisa menjawab sendiri. Kalau perlu, selagi jalan jalan ke Jepang mampir aja.. ^_^

Pengunjung